Hubungan paling sulit dijelaskan adalah
hubungan antara anak dan orang tuanya. Anak terluka karena orang tuanya, orang
tua juga sering terluka karena anak mereka. Bagaimana pun hubungan mereka tetap
saja mereka akan saling menyayangi, seburuk apapun yang telah terjadi.
Kadang,
rasanya ingin menangis ketika mengingat semuanya, kenangan yang manis,
sekaligus yang buruk. Bertahun-tahun aku membencinya, tak peduli padanya,
mengabaikan segala perhatiannya. Aku benci sikap dan sifatnya terhadap
keluarganya sendiri. Sikapnya sangat baik pada orang lain, tapi tidak pada
keluarganya.
Aku tahu ia
orang yang baik, aku sangat tahu pasti. Dia adalah orang tua yang baik. Aku
tahu dia banyak menderita selama ini. Aku tahu dia pasti sangat kesepian selama
beberapa tahun ini. Aku tahu bahwa ia sudah melakukan segala yang terbaik untuk
anak-anaknya. Aku tahu ia sangat menyayangi anak-anaknya.
Hubunganku
dengannya tak pernah benar-benar kembali menjadi baik setelah kejadian
bertahun-tahun lalu. Bahkan, ketika ia menangis meminta maaf, aku begitu
membencinya. Aku tahu ia tak pernah bermaksud menyakiti hatiku, tapi aku sangat
kecewa. Aku sering menghindarinya, menjauhinya, melihat ia berjalan jauh di
depan sana. Setiap kali melihatnya aku ingin menangis, aku ingin memeluknya dan
mengatakan bahwa ‘aku menyayanginya, sangat’.
Kenangan buruk
telah membuat segala berubah, tak pernah sama. Sekali pun aku berusaha untuk
baik-baik saja. Sekali pun aku berusaha untuk melupakan segalanya, semua tak
lagi sama. Aku tak ingin mengecewakannya, tapi aku tahu aku pun tak akan bisa
membuatnya bahagia. Mungkin aku akan terus membuatnya terluka. Anehnya, hal
yang paling aku takuti adalah, ia kesepian di hari senjanya.
Setelah lama
tidak bertemu, kemudian kami bertemu aku lihat warna rambutnya sudah tak hitam
semua, rambut-rambut putih itu mulai timbul. Hatiku pilu hanya dengan melihat
uban di rambutnya. Hatiku sakit sekali, sejak kapan uban-uban itu mulai tumbuh?
Aku tak pernah menyadari bahwa semakin lama umurnya bertamabah tua. Selama ini
aku menghindarinya, mungkin sudah terlalu lama.
Sering kali
aku merindukannya di malam-malam
menjelang tidur. Membasahi bantal semalaman karena mengingatnya, merindukannya,
membencinya, menyayanginya. Aku sering bingung dengan perasaan sendiri, betapa
aku menyayanginya tetapi menbencinya juga.
Aku tak kuasa
bahkan ketika berpikir bahwa ia kepanasan, kehujanan, kedinginan berjuang
untukku. Dia sudah menderita, aku hanya mampu menambah deritanya. Aku tak
pernah bisa membuatnya bangga, setidaknya itu yang aku tahu dan orang
terdekatku bilang. Apapun yang aku capai tak pernah cukup untuk membuatnya
bahagia. Ternyata, aku salah, mereka salah. Diam-diam dia membanggakanku di
luar sana, dan ia bilang ia bahagia.
Sejak aku
lahir, hingga kini ia selalu berusaha untuk membahagiakanku. Namun katanya,
hanya ini yang bisa ia lakukan untukku. Betapa sedihnya aku mendengarnya
berkata begitu. Kurang bersyukurkah aku selama ini? Rasanya seperti di tusuk
ribuan pisau di dada, pilu.
Saat aku
ingat-ingat, betapa disayangnya aku sejak kecil. Setiap ia pulang ke rumah, ia
selalu membawakan makanan kesukaanku. Ia sering membawaku ke tempat bermain
ketika ia libur. Membelikan segala yang aku mau. Menggendongku ketika aku
sakit. Memelukku ketika aku menangis. Melindungku ketika ada yang menyakitiku.
Ia rela kehujanan agar aku tidak kena air hujan. Bahkan ia menghisap darahku
ketika tangannku terluka.
Aku tak
peduli padanya, tapi diam-diam ia tahu bahwa aku sering berjalan dibelakangnya
tanpa menghampirinya. Ia ingat kapan tepatnya aku dilahirkan. Ia ingat segala
yang aku suka dan aku benci. Ia hafal betul cara berjalanku, ia bisa
mengenaliku bahkan hanya dengan mendengar langkah kakiku dari jauh.
Mereka bilang
ia tak pernah menyayangiku. Mereka bilang ia terlalu jahat padaku, tak peduli
padaku. Tapi aku tahu bahwa ia menyayangiku dari sorot matanya. Bukankah kita
bisa tahu bagaimana perasaan seseorang pada kita dari caranya melihat kita? Akan
terasa berbeda ketika ia menyayangi kita.
Aku sangat
rindu padanya. Aku sering mengatakan bahwa moment terdamai yang aku miliki
selama aku hidup di dunia adalah ketika aku tidur dipangkuaannya mendengarkan
bisika daun-daun di pohon karena tersentuh angin. Ia mengelus rambutku sambil
meceritakan banyak hal, nasihat dan segala harapannya terhadap anak-anaknya.
Jauh di lubuk
hati aku sangat menyayanginya.
Dan aku
belajar sesuatu, bahwa benar ‘Sebuas-buasnya harimau ia tak akan menyerang
anaknya sendiri.
Dan aku tahu
bahwa kata-katanya benar, bahwa ‘Mungkin ada yang namanya mantan istri, mantan
suami, tetapi tidak ada yang namanya mantan anak, mantan ibu, atau mantan ayah’.
Jika kita
terluka karena orang tua kita, sesungguhnya mereka sangat menyayangi kita.
Hanya saja, seberapa sadarkah kita terhadap kasih sayangnya, seberapa kita
bersyukurkan dengan keadaan orang tua kita, seberapa mengertikah kita terhadap
apa yang ia lakukan dan ia alami. . .
Ya Allah, sayangilah kedua orang tuaku seperti mereka
menyayangiku di waktu kecil.
Untuk bapak, semoga Allah memberkatimu selalu. . .